Malnutrisi Pada Lansia - Tak Kasat Mata, Tak Semudah Dikira

Jumlah penduduk berusia lanjut di Indonesia terus bertambah. Badan Pusat Statistik (BPS) memperkirakan pada tahun 2035 jumlah lansia akan mencapai 48 juta jiwa atau 15% dari total penduduk Indonesia.

Malnutrisi pada lansia merupakan salah satu sindroma geriatri yang harus dipandang lebih serius. Istilah malnutrisi pada anak sudah sangat umum didengar oleh masyarakat dan telah memperoleh penanganan yang lebih baik. Namun malnutrisi pada lansia cenderung memiliki kesan “tak kasat mata” sehingga sering terlambat untuk ditindaklanjuti oleh keluarga, maupun klinisi. Malnutrisi dan penurunan berat badan yang tidak dikehendaki menurunkan kualitas fungsi fisik maupun kognitif. Sehingga menyebabkan peningkatan penggunaan sarana prasarana kesehatan dan perawatan di rumah sakit yang pada akhirnya mengurangi kualitas hidup para lansia secara bermakna. Masyarakat umumnya berasumsi bahwa defisiensi nutrisi pada lansia tidak dapat dihindari seiring bertambahnya usia sehingga penanganan cenderung minimal karena dianggap tidak akan efektif. Karenanya kita harus mulai memandang status nutrisi yang buruk pada populasi lansia sebagai suatu area of concern.

Masalah malnutrisi pada lansia rupanya tidak hanya terjadi pada negara berkembang namun juga di negara maju. Dilansir dari data yang diberikan oleh Health and Nutrition Examination Survey (HANES), 16% dari lansia di Amerika Serikat kekurangan kadar kalori di dalam dietnya. Hal ini menggambarkan besarnya resiko seorang lansia mengalami keadaan malnutrisi. Di negara berkembang angka tersebut akan cenderung lebih besar karena berkaitan dengan kemiskinan, keadaan tempat tinggal, akses menuju sarana pelayanan kesehatan, dan keberadaan penyakit penyerta. Penelitian Prof. Dr. dr. Siti Setiati, Sp.PD, konsultan geriatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia menunjukkan prevalensi malnutrisi pada usila yang berusia 60-69 tahun sekitar 25 persen, dan mencapai 27 persen pada yang berusia 70-79 tahun. Lebih lanjut dalam penelitian beliau terhadap 702 pasien usia lanjut rawat jalan di 10 rumah sakit di Indonesia, didapatkan sebesar 56,7 persen lansia beresiko mengalami malnutrisi dan 2,14 persen lainnya terbukti malnutrisi.

Malnutrisi disebabkan oleh beberapa faktor yang secara garis besar dikelompokkan menjadi faktor fisiologis, patologis, sosioekonomi, dan psikologis.

Faktor fisiologis

Seiring bertambahnya usia terjadi perubahan sistem kerja tubuh yang mempengaruhi status nutrisi seorang lansia. Pada sistem pencernaan terjadi penurunan kemampuan dalam mencerna dan menyerap nutrisi dari makanan. Pada rongga mulut terjadi penurunan fungsi sistem saraf penghidu dan sel pembentuk papil lidah yang menyebabkan penurunan kemampuan untuk merasakan rasa melalui lidah dan penciuman melalui indera penghidu. Pada proses mengunyah dapat terjadi penurunan fungsi kelenjar ludah, posisi gusi yang semakin menurun (shrinking) serta masalah kehilangan gigi (edentulous). Lansia jg cenderung merasa cepat kenyang (early satiety) karena melambatnya refleks lambung dan proses pengosongannya serta akibat peningkatan hormon kolesistokinin. Kesemuanya ini dapat mempengaruhi selera makan seorang lansia.

Faktor patologis

Faktor patologis yang meningkatkan resiko malnutrisi berkaitan dengan adanya penyakit penyerta yang dimiliki oleh lansia, maupun medikasi yang mereka terima. Misalnya penyakit pada sistem pencernaan, mulai dari masalah gigi geligi, gangguan asam lambung, konstipasi, diare, yang mengganggu nafsu makan dan penyerapan nutrisi. Banyak penyakit seperti penyakit jantung, paru dan kelenjar tiroid dapat menyebabkan penurunan berat badan yang tidak dikehendaki akibat tidak seimbangnya kebutuhan metabolisme dengan kecukupan asupan nutrisi dari diet.

Pasien yang memiliki penyakit kronis seperti diabetes melitus, tekanan darah tinggi, penyakit jantung kongestif dan penyakit jantung koroner seringkali diterapi dengan pembatasan ketat dari jumlah dietnya. Pembatasan bumbu masakan seperti gula, garam dan minyak tentu saja dapat menyebabkan penurunan kualitas rasa sehingga nafsu makan cenderung menurun. Obat obatan yang diberikan juga sering mempengaruhi nafsu makan seorang lansia karena memiliki efek samping yaitu mual, anoreksia, perubahan persepsi rasa pada pengecapan maupun gangguan pada pencernaan, sampai gangguan metabolisme dan sistem pembuangan

Faktor sosioekonomi

Faktor sosioekonomi seringkali sangat mempengaruhi status nutrisi lansia. Besarnya pengeluaran finansial untuk tempat tinggal dan keperluan pengobatan seringkali mengorbankan anggaran untuk kebutuhan makan para lansia sehingga mempengaruhi kecukupan nutrisinya.

Penurunan fungsi fisik dan kognitif menyebabkan lansia tidak mampu untuk membeli sendiri dan menyiapkan bahan makanan yang dibutuhkan. Kekurangan nutrisi juga disebabkan oleh minimnya dukungan sosial dari keluarga sehingga cenderung apatis terhadap kebutuhan makanan sendiri.

Faktor psikologis

Menjalani kehidupan di usia lanjut dapat berarti mengalami banyak sekali kehilangan. Misalnya pensiun dari pekerjaan, disabilitas, rasa kesepian karena ditinggal meninggal pasangan hidup, teman, maupun anak-anak, perubahan keadaan ekonomi, sosial dan kesehatan fisik. Berbagai perubahan dan kehilangan ini dapat mengarah kepada keadaan depresi yang secara langsung menyebabkan penurunan berat badan dan kehilangan nafsu makan. Depresi pada lanjut usia seringkali sulit dikenali karena gejalanya terkadang tampak sebagai suatu kelainan fisik belaka.

Pentingnya mengenali dan menangani malnutrisi pada lansia sedini mungkin

Malnutrisi menjadi suatu hal yang harus segera dikenali dan diberikan tatalaksana sedini mungkin karena banyak akibat yang disebabkan olehnya antara lain menurunnya kekuatan dan fungsi otot, peningkatan resiko patah tulang, gangguan sistem imun yang meningkatkan resiko infeksi berat misalnya infeksi paru, mudah lelah, kurang darah, berkurangnya fungsi kognitif, penurunan kapasitas jantung dan paru, keadaan dehidrasi, dan penyembuhan luka yang semakin lambat. Seorang lansia dengan malnutrisi akan berisiko untuk masuk rumah sakit berulang dengan lama perawatan yang panjang sehingga mempengaruhi kualitas hidupnya.

Penanganan malnutrisi pada lansia harus dilakukan secara komprehensif dengan pendekatan menyeluruh dari berbagai disiplin ilmu, tidak hanya terbatas pada dokter dan ahli gizi, tapi juga perlu penilaian aspek psikososial oleh bidang-bidang lain yang terkait. Disiplin ilmu geriatri dan gerontologi telah memberikan suatu penapisan awal yang menyeluruh yang disebut Comprehensive Geriatric Assasement & Management dimana penilaian status nutrisi pasien adalah salah satu indikator yang harus dinilai dan dievaluasi menggunakan instrumen nutrisi yaitu mini nutritional assasement. Evaluasi meliputi indeks massa tubuh, berat badan, porsi makan dan minum, diameter lingkar lengan atas sampai penyakit penyerta yang diderita. Penilaian tersebut harus dilakukan secara berkala agar malnutrisi dapat terdeteksi sedari dini dan mendapat penanganan segera untuk mencegah dampak luas yang diterima oleh lansia. Penanganan malnutrisi memang tak semudah yang dikira karena memerlukan sumber daya, waktu dan tenaga yang tidak sedikit. Dukungan fasilitas pelayanan kesehatan serta segenap

pemangku kebijakan kesehatan juga diperlukan agar sistem penapisan dan penatalaksanaan dapat berjalan sesuai dengan yang kita harapkan. Sulit? Tentu saja. Namun mari tetap bertawakal dan berusaha. Manjadda wa jadda.

Dr. I Gede Gupita Dharma, M.Biomed SpPD
Instalasi Pelayanan Geriatri Terpadu RSJ H. Marzoeki Mahdi



Bagikan Postingan Ini: